Legenda, Mantra dan Lambang Perkelahian Kuda Suku Muna

  • Jul 17, 2024
  • ASMA NUR KAIDA

Muna Barat, Diceritakan oleh Dr. Wa Ode Sifatu yakni dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo (FIB UHO) melalui siaran RRI Apresiasi Budaya Bahasa muna "Pogiraha Adhara"  9 Juli 2024 tepatnya pukul 20:20 WITA dengan host Wa Ode Rulia. Kemudian di konfirmasi langsung oleh Ketua Komunitas Pemerhati Lingkungan Laworoku (KPLL) Muna Barat Asma Nur Kaida kepada Dr Wa Ode Sifatu melalui Handphone saluran panggilan Watsapp 14 Juli 2024.

Wa Ode Sifatu mengaku cerita legenda ini belum diulas dalam tulisan online "saya riset belum menemukan di google cerita legenda ini, " Ngakunya. 

Wa Ode Sifatu menyatakan cerita legenda perkelahian Kuda, ia dapatkan dari orang tuanya dimasa kecil sebagai pengantar tidur. "Saat kecil kalau tidur selalu di ceritakan sama orang tua saya, " Tuturnya. 

Cerita ini di sampaikan oleh Wa Ode Sifatu dalam bahasa Muna kemudian saya menerjemahkan dalam bahasa Indonesia. 

Zaman dahulu kala sistem kepemimpinan di Muna adalah kerajaan. Biasanya sebutan raja  Muna dipanggil Omputo. Disuatu kampung di pulau tanah Muna (tidak disebutkan nama kampung nya) hiduplah sepasang suami istri bernama La Leko dan Wa Bero, mereka memiliki anak tinggal (pembantu) bernama La Kasamangkiri. Diyakini dalam cerita legenda La Kasamangkiri ini  bukan keluarga pasangan suami istri tersebut namun ia hanya sebagai anak tinggal di rumah mereka. 

Suatu saat dalam kampung tersebar gosip kalau Wa Bero telah menjalin hubungan terlarang (nomansule) dengan anak tinggalnya La Kasamangkiri. Hingga Peristiwa itu terdengar sampai di telinga La Leko.

Mendengar informasi itu awalannya La Leko tidak percaya begitu saja, namun terkecuali ada bukti nyata atau melihatnya langsung. Hingga akhirnya La Leko melihat dan menyaksikan sendiri peristiwa ganjil tersebut dan menyadari   ternyata benar kecurigaan warga selama ini. 

Karena tertangkap basah La Leko langsung meminta mereka untuk tidak pergi dari rumah. "Jangan kemana-mana saya akan segera menikahkan kalian, sekarang saya mau mencari penghulu, " Ucapnya. Maka beranjaklah La Leko dari rumah sedangkan Wa Bero dan La Kasamangkiri menunggu dalam rumah. 

Sepanjang perjalanan mencari penghulu La Leko bertemu warga, ia pun langsung mengundang mereka untuk menghadiri pernikahan istrinya Wa Bero dengan anak tinggalnya La Kasamangkiri. Atas undangan tersebut masyarakat pun bersiap-siap untuk hadir menyaksikan. 

Kini penghulu sudah didapat. La Leko pun pulang ke rumah bersama penghulu dan warga yang diundangnya tadi. Tau-tau di kediaman La Leko sudah banyak orang, karena sebagian undangan sudah tiba terlebih dahulu. 

Sampai di rumah, La Leko terkejut,  ternyataa Wa Bero dan La Kasamangkiri sudah berubah menjadi sepasang dua ekor kuda. Atas kejadian itu mereka tidak jadi dinikahkan, yang kemudian dibiarkan berkeliaran dalam kampung, hingga akhirnya berkembang biak. 

Jika bertemu Kuda dalam kampung, masyarakat langsung melempari pakai batu atau memukulnya pakai kayu, karena mengingat perlakuan mereka yang melanggar norma. Raja Muna atau sapaannya Omputo (tidak disebutkan nama raja) menganjurkan agar berhenti melempari dan memukul kuda-kuda itu. "Wahai rakyatku berhentilah memukul dan melempari kuda-kuda yang berkeliaran dalam wilayah ini karena mereka merupakan mahkluk hidup juga, nanti kita buatkan sebuah pertunjukan permainan saja, " Serunya. 

Mendengar arahan Raja (Omputo), masyarakat kebingungan memikirkan bagaimana kuda-kuda ini mau di jadikan permainan rakyat. Raja pun meyakinkan bahwa nanti ia yang mengaturnya. Atas kehendak itu Omputo memanggil pimpinan fatogoerano yakni Katobu, Lawa, Kabawo dan Tongkuno untuk berkumpul di sebuah tempat atau lapangan. Masyarakat pun masih kebingungan dan heran bagaimana kuda ini akan dimainkan. 

Tibalah waktunya pertunjukan, dan ternyata Kuda betina yang ada di Lawa di pertukaran dengan Kuda di Tongkuno, begitupun yang lainnya betina saling dipertukarkan maka terjadilah Kuda Jantan berkelahi dan saling menggigit dengan dipandu oleh pemiliknya yang sekaligus pawangnya. Atas pertunjukan itulah awal mula disebut Pogiraha Adhara (perkelahian kuda). 

Lebih lanjut Wa Ode Sifatu menyatakan, jika penonton diinjak oleh Kuda saat berlangsung pertunjukkan, bisa jadi mengakibatkan korban meninggal dunia. Ia mengaku di masa kecilnya sering menyaksikan pertunjukan perkelahian Kuda di Kadhariha tepatnya Wakumoro. Pertunjukan Kuda dilaksanakan usai sekolah, maka ia tidak langsung pulang ke rumah. " Dari sekolah saya langsung nonton perkelahian Kuda itu, saya ingat saat itu, selalu memanjat pohon kopi karena takut jangan sampai Kuda menginjak saya, " Kenangnya. 

Bagaimana tehnik perkelahian Kuda suku Muna. 

Lebih lanjut Wa Ode Sifatu mengungkapkan bahwa perkelahian Kuda Suku Muna tidak serta merta dilakukan namun harus memiliki kepiawaian dan ketelatenan menjinakan Kuda. Biasanya Pawang pertunjukan perkelahian Kuda, pemiliknya sendiri. 

Sebelum turun di arena, Kuda biasanya dimandikan. Jika Kuda hendak diadu, terlebih dahulu tuanya mengelus-elus sembari mencetuskan mantra-mantra agar ada keterikatan batin antara Kuda dan tuannya saat dilangsungkan pertunjukan. Menurut Wa Ode Sifatu pengucapan mantra bisa saja berbeda antara desa satu dan lainnya. 

Berpasang-pasangan, Kuda jantan dan betina dihadirkan di lapangan. Untuk memicu keagresifan Kuda Jantan, Kuda betina di pertukaran, maka terjadilah perkelahian Kuda (pogiraha Adhara). Kondisi ekstrim pawang dengan ketelatenanya dapat melerai kuda.  "Pawang masuk ditengah melerai kuda itu menurutku luar biasa dan pawang itu tidak pernah ditendang oleh kuda padahal itu sangat ekstrim" Kata Wa Ode Sifatu. 

Namun ternyata keberanian pawang Kuda tidak serta merta, tapi sudah memiliki kesiapan secara matang. Menurut Wa Ode Sifatu mulai mengikatkan tali di mulut Kuda sampai pawang melerai Kuda juga memiliki mantra. Semua itu dilakukan agar Kuda bisa dikendalikan. 

Jika mulut Kuda hendak diikat (disama), diiringi mantra-mantra yang diucapkan  tuannya. Dengan sendirinya Kuda pun membuka mulutnya, sehingga gampang saja papan dimasukkan di mulutnya. 

Jika Kuda jantan yang diikat (disama) maka mantranya di ucapkan seperti ini :

"Mina asumamaangko omembali Adhara ini tamkaawu afehulaiangko podium bhe Wa Bhero anaga ini"

"Tidak diikatkan karena engkau seekor kuda jantan namun ini hanya mengingat kan perilakumu bersama Wa Bhero saat dahulu kala, "

Begitupun jika kuda betina yang di ikat (disama) memiliki mantra :

"Miina asumamaangko omembali adhara inia tamkaawu afehulaiangko podium bhe Akasakamangkiri anaga ini, "

"Tidak diikatkan karena engkau seekor kuda betuina namun ini hanya mengingatkan perilakumu bersama Akasakamangkiri  saat dahulu kala, ".

Begitupun kuda di lerai saat di adu memiliki mantra :

" Kosepa kanau fehulai podium bhe Wa Bhero anaga ini, "

"Jangan tendang saya, ingatlah perilakunmu bersama Wa Bhero dahulu kala, "

Wa Ode Sifatu mengenang pertunjukan pereklahian Kuda dimasa sekolah SPG yang diadakan di Sumpuo. Kala itu La Ode Dika Omputo Komasigino masih hidup. 

Biasanya masyarakat dari Wasolangka sebelum menyaksikan perkelahian Kuda mereka singgah di pasar Kentakala yang sekarang pasar Wakumoro untuk menjual ikan mereka. "Rumah saya dulu di depan pasar itu, " Ungkapannya. 

Di pasar ada masyarakat yang berpapasan dengan La Ode Dika gelar Omputo Komasigino (Raja) dan biasanya masyarakat menyapanya Waompu. Waompu dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah Tuhan. 

Karena mendengar itu, ada salah satu warga yang bernama Amidi bin La Palola berasal di Jalan Kelapa kota Raha terkenal kaya saat itu, seolah mencibir ungkapan gelar pada Omputo Komasigino. " Untuk apa dipanggil Waompu (Tuhan) padahal dia itu bukan Tuhan, "

Adat Muna menyapa raja dengan Waompu bukan berarti menuhankan raja namun meyakini bahwa pemimpin atau raja adalah wakil Tuhan yang harus bijak sana dalam memimpin daerah. Hal ini disakralkan dan menjadi adat atau kebiasaan masyarakat jika melihat rajanya akan menyahuti nya Waompu. 

Mendengar cibiran itu Omputo Komasigino tidak menanggapinya, begitupun orang lain. 

Waktu yang sama di Sumpuo saat itu ada pertunjukan perkelahian kuda, Ahamidi dan masyarakat lainnya berangkatlah untuk turun menyaksikan. Namun nahas terjadi Ahamidi tewas seketika usai di tendang Kuda saat pertandingan berlangsung. Padahal menurut Wa Ode Sifatu dalam insiden pertarungan Kuda korban memiliki penawarnya, yakni Kuda akan di ajak menjilat bekas tendangan di badan korban agar tidak terjadi apa-apa. Ritual itupun sudah dilakukan dan tidak mampan hingga nyawa Ahamidi tidak tertolong, wahalaualam itu kehendak mahakuasa bahwa itu sudah ajalnya. 

Namun masyarakat Muna kebanyakan meyakini saat itu bahwa insiden nahas yang dialami Ahamidi diduga telah durhaka pada Omputo Raja atas cemohannya dalam istilah Muna (nobala neomputo). Masyarakat Muna memanggil Waompu itu pada dasarnya bukan keinginan Raja namun bentuk penghargaan mereka terhadap pimpinan raja. 

Selain itu Wa Ode Sifatu menambahkan jika Kuda Luka karena saling menggigit saat pertarungan berlangsung, dapat di obati memakai karbon batrei ABC yang di campurkan dengan minyak tanah. 

Diketahui bahwa permainan perkelahian Kuda hanya ada di tanah Muna sehingga Kuda juga ini menjadi lambang daerah kabupaten Muna yakni dua ekor Kuda berhadapan. Lambang kuda sempat diganti tahun 2002 kemudian digantikan pohon jati, ikon lain Kabupaten Muna. namun kemudian 2012 Kabupaten Muna kembali mengubah lambang daerahnya menjadi kuda berhadapan. Diduga terjadinya pergantian lambang Kuda menjadi klimaks era kejayaan Kuda di Muna. 

Populasi kuda di pulau Muna tersisa puluhan ekor saja. Diduga tahun 1970-an tradisional perkelahian kuda mulai menghilang bersamaan dengan berpindahnya penduduk kota Muna kampung lama (liwu ngkodau) menuju wilayah baru. 

Dimasa lalu kebanyakan yang memiliki Kuda hanya keturunan bangsawan. 

Saat ini Kuda leluhur yang tersisa hanya ada di Latugho Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Barat sebelumnya adalah Kabupaten Muna. Jumlahnya tinggal puluhan ekor. 

Di Latugho salah satu yang melestarikan Kuda leluhur adalah La Ode Abjina. Untuk terus lestari antraksi perkelahian kuda hanya dilakukan pada saat perayaan HUT daerah atau HUT RI. 

Menurut Wa Ode Sifatu tradisi pertunjukan perkelahian Kuda saat ini bisa masuk wisata minat khusus yang mengutamakan kualitas dan keberlanjutan. "Untuk mengembangkan wisata di pulau muna Perkelahian Kuda saat ini bisa masuk kategori wisata minat khusus," Tutupnya. 

By. Asma Nur Kaida